Sejarah Demokrasi Terpimpin ~ Pada awal berdirinya negera Indonesia atau masa pemerintahan Soekarno, terjadi beberapa perubahan tentang sistem kepemerintahan Indonesia. Salah satu sistem yang dicetuskan oleh Soekarno adalah Demokrasi Terpimpin. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai sejarah lahir dan berakhirnya demokrasi terpimpin. |
Dosen PPKn
|
Sejarah Singkat Demokrasi Terpimpin | dosen-ppkn.blogspot.com |
Demokrasi terpimpin dimulai ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. Tetapi sebelum keputusan presiden diumumkan, demokrasi parlementer atau demokrasi konstitusional masih bertahan dengan pembentukan kabinet transisi yang dipimpin oleh Ir. Djuanda atau yang disebut Kabinet Djuanda.
Kabinet Djuanda ini berisi orang-orang yang bukan dari koalisi partai yang dominan di palemenen, sehingga seringkali Kabinet Djuanda juga disebut Kabinet Parlementer Ekstra yang mulai bekerja dari 9 April 1957 hingga 10 Juli 1959.
Jauh sebelum demokrasi terpimpin terbentuk, Sukarno sebenarnya telah menyatakan keinginannya untuk mengubah sistem demokrasi di Indonesia pada 27 Januari 1957 di Bandung.
Ide Sukarno dimulai dengan mengungkapkan keinginannya untuk kembali mencampuri urusan pemerintahan meskipun Majelis Konstituante belum selesai membentuk konstitusi baru. Kelanjutan pendapatnya, kemudian Soekarno mengumpulkan para pemimpin parpol untuk membentuk lembaga yang disebut Dewan Nasional.
Puncak cita-cita Soekarno dan konsepsi demokrasi adalah pada 21 Februari 1957 yang dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Konsepsi Soekarno diungkapkan di hadapan menteri kabinet pemerintah, pemimpin partai politik, dan perwira angkatan bersenjata.
Isi Konsepsi Presiden yang diajukan Soekarno pada dasarnya; 1) untuk mengubah parlemen menjadi sistem pemerintahan presidensial, 2) untuk mencoba merangkul semua kekuatan politik yang ada, terutama keempat partai memenangkan pemilu 1955, PNI, Masyumi, NU, dan PKI, serta merangkul militer dalam formasi dari Dewan Nasional.
Konsepsi itu sebenarnya dikritik oleh para pemimpin partai, seperti Muhammad Natsir dari Masyumi dan Imron Rosjadi dari NU, dan juga sebagian kecil dari PNI (yang kemudian menjadi PNI Osa-Usep). Puncaknya pada tanggal 2 Maret 1957, lima partai yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, Partai Katolik, dan PRI mengeluarkan pernyataan yang menolak konsepsi Soekarno.
Sementara PKI adalah satu-satunya yang sepenuhnya mendukung konsepsi Soekarno dan sebagian besar anggota PNI (yang kemudian menjadi PNI Ali-Soerachman).
Meskipun ada tekanan dari partai-partai sayap kanan, Sukarno terus menjalankan konsepsinya dengan mengandalkan kekuatan partai-partai sayap kiri, PKI dan PNI. Pada tanggal 14 Maret 1957, undang-undang darurat disahkan dan kabinet transisional di bawah kepemimpinan Ir. Juanda.
Puncaknya adalah ketika Soekarno kemudian mencetuskan konsepsi dalam bentuk Keputusan Presiden pada 5 Juli 1959 yang mengawali era demokrasi terpimpin di Indonesia. Isi Keputusan Presiden meliputi:
Tentukan pembubaran Majelis Konstituante
Penetapan UUD 1945 berlaku lagi untuk seluruh bangsa Indonesia dan seluruh wilayah darah Indonesia, mulai dari tanggal ditetapkannya keputusan ini dan tidak adanya Konstitusi Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat harus dilengkapi oleh delegasi dari daerah dan kelas dan membentuk Dewan Penasihat Agung Sementara akan diadakan dalam waktu sesingkat mungkin.
Meskipun Konsepsi Kepresidenan bertujuan untuk menyatukan semua kekuatan politik yang ada dan menciptakan stabilitas politik nasional, tetapi dalam prakteknya, Presiden Soekarno kemudian berusaha untuk menciptakan sistem kediktatoran yang atas nama demokrasi terpimpin. Pada periode ini juga kepemimpinan Dwitunggal bubar, Mohammad Hatta memilih untuk berada di luar pemerintahan dan menjadi sosok yang mengkritik Soekarno dengan tulisan-tulisan dan menganggap Soekarno telah berubah menjadi diktator sejak 1956.
Menurut Miriam Budiardjo, ciri-ciri era demokrasi terpimpin adalah dominasi seorang presiden yang sedang naik daun, pengaruh komunisme yang semakin besar, dan masuknya militer sebagai elemen sosio-politik. Keputusan Presiden 5 Juli pada dasarnya membuka peluang bagi stabilitas politik nasional, karena ia dapat mempertahankan posisi pemerintah setidaknya selama lima tahun, tetapi Keputusan Presiden 5 Juli 1959 diubah setelah dikeluarkannya Keputusan MPR. III / 1963 yang mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Keputusan MPR pada saat yang sama melampaui batas posisi presiden dan menjadikan Soekarno seorang diktator. Ini menjadi salah satu bentuk pergolakan demokratis dan demokratis di era demokrasi terpimpin.
Penyalahgunaan lain oleh Soekarno selama era demokrasi terpimpin adalah pada tahun 1960, Sukarno membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tidak lain adalah sebuah lembaga legislatif, sedangkan UUD 1945 tidak mengizinkannya kepada presiden.
Bahkan kemudian, setelah membubarkan DPR, Presiden Soekarno membentuk badan legislatif, yang seharusnya memiliki anggota legislatif yang dipilih oleh rakyat, bukan presiden. Badan legislatif yang dibentuk oleh Soekarno kemudian disebut sebagai Gotong Royong Rakyat Majelis Legislatif (DPR-GR). Praktis, karena DPR-GR adalah bentuk presiden, maka fungsi kontrol legislatif kepada eksekutif dihilangkan.
Selain itu, posisi Ketua DPR-GR diangkat menjadi menteri oleh Presiden Soekarno, itu berarti legislatif berada di bawah eksekutif, itu tertuang dalam Keputusan Presiden no. 14/1960.
Selain badan legislatif, peradilan juga mendapat intervensi dari Presiden Soekarno, salah satunya adalah presiden memiliki kewenangan untuk campur tangan dalam peradilan Mahkamah Agung. Intervensi Presiden Soekarno di bagian peradilan diperkuat lebih lanjut oleh UU 19/1964, yang berarti bahwa presiden itu sah ketika mengganggu penilaian apa pun yang dibuat oleh peradilan.
Selain pemerintahan, kecenderungan komunisme juga terjadi di era demokrasi terpimpin, salah satunya adalah Presiden Soekarno membentuk lembaga ekstra konstitusional, yaitu Front Nasional. Menurut Miriam Budiardjo, pembentukan Front Nasional merupakan bagian dari strategi Komunis Internasional (Komintern) untuk membentuk negara berdasarkan model "demokrasi rakyat".
Jadi Front Nasional yang dibentuk oleh Presiden Soekarno kemudian menjadi tanah politik bagi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan tidak dapat dirusak karena posisinya yang berada di luar konstitusi tetapi dilindungi oleh presiden.
Demokrasi terpimpin yang diprakarsai oleh Presiden Soekarno semakin menunjukkan pelanggaran dan menghalangi konsep dan nilai-nilai demokrasi itu sendiri, bukan hanya karena intervensi penuh dari legislatif dan peradilan, tetapi juga pelarangan partai politik yang dianggap melawan Presiden Soekarno, seperti Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan dan Soetan Sjahrir kemudian dibuang ke Swiss sampai kematiannya pada tahun 1966, serta lembaga pers dan seni yang menentang Presiden Soekarno atau berkonflik dengan PKI, seperti Harian Pandji Masjarakat dan budaya aktivis yang tergabung dalam Manikebu juga dilarang.
Selain itu, Presiden Soekarno memprioritaskan kebijakan luar negeri yang disebut "Politik Mercusuar", yang mempengaruhi sektor ekonomi nasional yang terabaikan menyebabkan inflasi dan kemiskinan yang sangat besar.
Era demokrasi terpimpin berakhir dengan peristiwa sejarah paling gelap bagi bangsa Indonesia, Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia atau G30S / PKI. G30S / PKI sebagai tambahan untuk mengakhiri era demokrasi terpimpin, serta memulai fase kediktatoran baru, kediktatoran Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto atau yang disebut era demokrasi Pancasila.
Demikianlah penjelasan singkat mengenai Sejarah Demokrasi Terpimpin, semoga apa dijelaskan di atas bisa bermanfaat bagi yang membaca. Apabila ada pertanyaan mengenai penjelasan di atas, silahkan tuangkan saja melalui kolom komentar di bawah.